Proyek Perluasan

30 Januari 2009

Sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Khatthab, menurut riwayat yang dikutip Al-Kandahlawi dalam buku Hayat al-Shahabah, pernah bermaksud untuk memperluas bangunan Masjid Nabawi di Madinah. Tapi, rencana perluasan ini agak terhambat, karena di dekat masjid itu terdapat bangunan (rumah) milik Abbas, paman Nabi SAW.

Untuk menyukseskan proyek perluasan ini, Umar menawarkan kepada Abbas tiga usulan. Pertama, menjual rumah itu kepada Umar (pemerintah). Kedua, menghibahkan secara cuma-cuma. Ketiga, Abbas sendiri harus memperluas Masjid itu. Namun ternyata semua usulan itu tak satu pun diterima Abbas.

Umar, tentu saja, sangat kecewa. Ia bermaksud memperkarakan Abbas dalam kasus ini. Ia meminta Abbas menunjuk seorang penengah yang dapat bertindak sebagai hakim dalam perkara ini. Abbas menunjuk Ubay bin Ka'ab. Lalu mereka berdua datang menemui Umar dan terjadilah dialog seperti berikut.

''Tuan Khalifah, menurut hemat kami, tidak dapat mengusir Abbas dengan menggusur rumahnya untuk keperluan proyek ini,'' kata Ubay. ''Apa dasarnya?'' tanya Umar. ''Sunnah Rasul,'' jawab Ubay. ''Aku dengar Baginda Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Nabi Daud bin Sulaiman ketika membangun Bait al-Maqdis mendapati kesulitan, yaitu setiap kali ia membangun pagar Bait at-Maqdis, maka pagar itu selalu roboh dan rontok. Lalu Allah SWT memberi tahu Daud agar ia tidak membangun pagar di atas lahan orang lain sampai yang bersangkutan merelakannya.''

Mendengar jawaban Ubay, Umar bersikap pasrah dan menyerah. Artinya, rumah itu tetap milik Abbas dan tidak boleh digusur meski untuk pembangunan Masjid Nabawi. Konon, beberapa waktu kemudian, Abbas sendiri memperluas masjid itu.

Kisah ini sungguh amat menarik untuk direnungkan, khususnya bagi para pecinta dan pencari keadilan. Bayangkan, apa sulitnya seorang kepala negara seperti Umar menggusur rumah penduduk untuk keperluan pembangunan masjid? Rasanya tidak ada alasan yang lebih kuat dari proyek pembangunan masjid. Tapi, Umar toh tak sanggup melakukannya. Ia harus tunduk kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul. Sikap dan tindakan Umar ini, dengan sendirinya, semakin mengukuhkan dirinya sebagai Al-Faruq, yakni orang yang sangat adil dan pantang mencampur aduk antara yang hak dan yang batil.

Apa yang diperbuat Umar di atas, agaknya memang berlainan sekali dengan kenyataan dan realitas kehidupan yang sering kita lihat di sekeliling kita. Betapa banyak lahan dan rumah penduduk harus diikhlaskan demi pembangunan. Juga tak sedikit yang harus digusur sekadar untuk pembangunan gedung bioskop, pusat hiburan, hotel berbintang, dan proyek-proyek besar lainnya. Untuk dapat hidup lebih baik, agaknya kita masih perlu belajar banyak lagi dari sirah orang-orang besar yang arif dan bijaksana, seperti Umar. Umar memang telah tiada, tetapi semangat keadilannya dan pemihakannya kepada kaum duafa patut dikenang sepanjang masa.

sumber: http://republika.co.id/

Baca Selengkapnya..

Bahasa Allah

12 Januari 2009

by Syaefudin Simon

Ketika kecil, kita sering mendengar dari orang tua berbagai kisah yang menggambarkan tentang keadilan Allah SWT. Di antara kisah itu diceritakan ada seorang yang pernah meragukan keadilan Allah ketika membandingkan buah semangka dan beringin. Mengapa pohon semangka itu kecil, padahal buahnya besar -- sedang beringin sebaliknya? Ketika orang itu sedang asyik mengamati 'ketidak-adilan' pada pohon beringin itu, tiba-tiba beberapa buah pohon beringin jatuh dan mengenai kepalanya.

Seketika itu ia langsung beristighfar, ''Allah Mahaadil. Coba seandainya buah beringin sebesar semangka, tentu muka saya sudah hancur.'' Sebelum mengakhiri cerita itu, orang tua kita lalu menyimpulkan bahwa itulah cara Allah memperingatkan hamba-Nya. Orang tadi beruntung karena cepat menyadari kekeliruan jalan pikirannya terhadap keadilan Allah. Ia peka akan 'tanda-tanda' alam sebagai 'bahasa' Tuhan yang mengingatkan kesalahan pandangannya.

Tanda-tanda alam sebagai 'bahasa' Tuhan sesungguhnya tidak hanya terdapat pada kisah orang tua kita di atas. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering mendapatkan berbagai peringatan dari 'bahasa' Allah itu. Dalam sejarah Islam, misalnya, 'bahasa' Allah untuk memberitahukan kepada manusia tentang kerasulan Muhammad saw, ditunjukkan dengan beraraknya awan yang selalu menaungi beliau ke mana pergi. Banyak rabbi Yahudi, antara lain Buhaira, masuk Islam setelah membaca 'bahasa' Allah tersebut.

Barangkali, kita juga sering diingatkan Allah akan kekeliruan langkah dan perilaku kita dengan bahasa-bahasa alam semacam itu. Tapi, karena kita kurang peka, peringatan-peringatan tersebut sering kita abaikan hingga akhirnya kita terkena bencana.

Sesungguhnya Allah masih terus mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan bahasa-bahasa alam. Ketika kita menyaksikan sepotong daun yang layu dan jatuh, itu sesungguhnya 'bahasa' Allah untuk mengingatkan kita bahwa pada saatnya kedudukan daun yang terletak pada setiap bagian pohon akan lengser juga.

Ibn Al-Arabi memandang alam sebagai simbol-simbol eksistensi Tuhan. Karena itu, kejadian sehari-hari di alam bisa merupakan 'perumpamaan' dari 'bahasa' Allah. Alquran menjelaskan, ''Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun bagi orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tapi mereka yang kafir mengatakan, ''Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu banyak pula yang diberi petunjuk ... (Al-Baqarah: 26).

Saat ini, di zaman reformasi, 'bahasa' Allah tak hanya ditunjukkan melalui bahasa-bahasa alam yang halus, tapi melalui 'bahasa-bahasa' manusia yang nyata dan terang benderang. Lihat saja, betapa banyak penguasa dan hartawan yang dulu sangat dihormati dan disembah-sembah, tiba-tiba kini dicemooh orang. Itu semua terjadi karena mereka tak mau memperhatikan 'bahasa' Allah yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

sumber: http://republika.co.id/

Baca Selengkapnya..

Wacana Toleransi

09 Januari 2009

AM Fatwa

Salah satu semangat Alquran yang istimewa adalah penghormatan yang luar biasa terhadap ide persamaan dan persaudaraan. Alquran menegaskan bahwa manusia diciptakan Tuhan dari satu jiwa, kemudian dari satu jiwa itu Ia ciptakan pula pasangannya dan dari keduanya Ia ciptakan lagi banyak laki-laki dan perempuan (QS An-Nisa', 1-4). Selanjutnya lelaki dan perempuan yang banyak itu Ia pecah menjadi berbagai bangsa dan suku.

Hadits menerangkan lebih lanjut bahwa tak ada perbedaan antara suku-suku bangsa itu. ''Tidaklah lebih mulia orang Arab dari orang bukan Arab, orang bukan Arab dari orang Arab, orang bewarna dari orang putih, orang putih dari orang bewarna, kecuali karena taqwanya.'' (Bagian dari Teks Khotbah Wada' Nabi SAW).

Sungguh pun manusia pada perkembangannya menjadi berbagai bangsa, mempunyai berbagai bahasa, mempunyai warna berbeda dan agama berlainan, mereka pada hakikatnya, karena berasal dari sumber yang satu, adalah bersaudara yang mempunyai kedudukan yang sama. Manusia dalam Islam hanyalah milik Allah dan 'abd (hamba) Allah, sehingga tidak boleh menjadi hamba selain Allah. Antar sesama manusia dengan demikian harus saling mengasihi dan saling bebas membebaskan.

Karena itu ketika Umar Ibn Khattab mendengar bahwa anak gubernurnya, Amr Ibn Al-As, bersikap kasar terhadap salah satu penduduk Mesir, ia berkata: ''Sejak kapan kamu memperbudak manusia, sedang mereka dilahirkan ibu-ibu mereka bebas?'' Sejalan dengan kebebasan itu, maka Islam pun menegaskan: ''Tidak ada paksaan dalam agama,'' (QS Al-Baqarah, 256). Bahkan teguran keras pada Nabi SAW: ''Apakah engkau akan paksa manusia sehingga menjadi mukmin?'' (QS Yunus, 99). Tuhan menegaskan: ''Tugasmu hanya memberi ingat. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.'' (QS Al-Ghasyiah, 21-22).

Dari ajaran dasar persamaan, persaudaraan dan kebebasan di atas, timbullah perintah bahwa manusia harus dibebaskan dari perbudakan, bebas dari rasa takut, bebas mengeluarkan pendapat, bebas bergerak, bebas dari penganiayaan dan tentu saja bebas beragama. Dari sini pula timbul hak-hak atas hidup, atas harta milik, atas pendidikan, atas pekerjaan dan lain-lain asasi manusia yang bersifat universal.

Kenyataan (agama) yang demikian itu harus menjadi dasar berpikir kita, bahwa toleransi dalam Islam bukan berasal dari pemikiran karena masyarakat kita majemuk, banyak suku dan agama. Tetapi toleransi Islam itu berasal dari esensi ajarannya itu sendiri. Itulah sebabnya, setiap selisih sosial yang bermuatan SARA, seperti akhir-akhir ini di Timor Timur, adalah sesuatu yang bukan dari Islam. Berulangkali kenyataan sejarah mengajarkan bahwa di lingkungan mayoritas Muslim setiap orang menikmati kebebasan asasinya.

sumber: http://republika.co.id/

Baca Selengkapnya..

Kalender Islam, Kerumitan Menghitungnya

06 Januari 2009

Meskipun kali ini tahun baru Islam dan tahun baru Masehi hampir berdempetan namun kedua sistem penanggalan itu jelas berbeda.Tahun baru Masehi berdasarkan perhitungan semu matahari (syamsiah) mengelilingi bumi, sedangkan tahun baru Islam menggunakan acuan bulan (qomariah).Kalender Islam yang dimulai dengan bulan Muharam itu ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam.

Dibandingkan dengan sistem penanggalan masehi yang berdasarkan hitungan pergerakan matahari, kalender bulan ini memiliki sistem yang lebih mudah diamati.Kemudahan itu dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tangggal dari perubahan bentuk dan fase bulan.

Menurut anggota Islamic Crescent's Observation Project (ICOP), Mutoha, dalam perjalanannya mengelilingi bumi, fase bulan akan berubah dari bulan mati ke bulan sabit, bulan separuh, bulan lebih separuh, purnama, bulan separuh, bulan sabit, dan kembali ke bulan mati. Satu periode dari bulan mati ke bulan mati, lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari); periode itu disebut dengan satu bulan. Panjang tahun dalam kalender bulan adalah 12 bulan (12 x 29.5306 hari), yakni 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik (354,3672 hari).

Kalender bulan tertua yang diketahui berusia 17 ribu tahun dengan bukti keberadaan kalender ini terpahat di dinding Gua Lascaux, Perancis, ujarnya.Sedangkan kalender matahari menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Kalender ini menggunakan matahari sebagai patokan. Satu tahun terdiri atas 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik (365.2422 hari) atau lamanya waktu yang diperlukan bumi untuk mengelilingi matahari.

Kelebihan kalender ini adalah, kesesuaiannya dengan musim, ia mencontohkan Indonesia, yang biasa mengalami musim kemarau antara bulan April hingga Oktober. Karenanya, kalender ini digunakan sebagai pedoman beraktivitas sehari-hari seperti bercocok tanam atau menangkap ikan. Namun berbeda dengan kalender matahari, dengan kalender bulan, orang awam bahkan bisa menentukan kapan pergantian bulan sehingga sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan.

Menurut Pakar Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin, karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah.
Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah). "Bahkan seandainya cuaca buruk sehingga sulit melihat bulan, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari," katanya.

Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda, tambahnya.

Membingungkan
Menurut dia, penentuan awal bulan yang saat ini sering membingungkan hanyalah merupakan akibat perkembangan zaman. Faktor-faktor penyebab kerumitan itu antara lain, tuntutan penyeragam waktu ibadah untuk daerah yang luas. "Bahkan ada pula yang menuntut penyeragaman yang sifatnya mendunia tanpa menyadari bahwa banyak kendala yang dengan teknologi maju saat ini belum bisa teratasi," katanya.

Ia mengatakan, rukyatul hilal (pengamatan hilal) saat ini tidak murni lagi, di mana hisab (perhitungan) secara tak sadar telah mendominasi sebagian besar pengamat, meski hisab yang mereka gunakan banyak yang tidak akurat.Selain itu, urainya, tidak banyak lagi orang yang mengenali hilal, terutama di kota-kota besar, sehingga kemungkinan keliru mengidentifikasi objek lain sebagai hilal lebih mungkin terjadi.

Polusi atmosfer seperti debu dan cahaya mempersulit pengamatan hilal karena bersifat meredupkan, tambahnya. Kerumitan itu sebenarnya menurut Djamal, bisa sedikit diatasi dengan memanfaatkan data posisi hilal yang akurat dari almanak astronomi mutakhir yang merupakan hasil penyempurnaan almanak astronomi sepanjang sejarah perkembangannya.

Akurasi almanak astronomi dalam penentuan ijtima' (astronomical new moon) kini telah teruji pada ketepatan perhitungan waktu gerhana matahari yang pada hakikatnya adalah ijtima' teramati (observable new moon). Setidaknya informasi posisi hilal yang akurat bisa mencegah terjadinya kesalahan identifikasi hilal, ujarnya.

Kalau data almanak astronomi tentang posisi hilal sudah bisa diterima secara luas, menurut Djamal, berarti tinggal satu langkah lagi dalam mengatasi kerumitan itu, yakni menentukan kriteria visibilitas hilal. "Inilah bagian tersulit, tetapi telah dimulai oleh IICP (International Islamic Calendar Programme) di Malaysia yang dipimpin Mohammad Ilyas," katanya.

Dalam prakteknya, kriteria visibilitas hilal belum banyak dipakai, menurut dia, mungkin karena belum memasyarakat. Kriteria utama yang banyak di pakai, lanjut dia, adalah bulan sudah di atas ufuk yang pada hakikatnya syarat wujudul hilal. "Menurut data Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI hilal dengan ketinggian 2 derajat berhasil di ru'yat. Itu berarti beda waktu terbenam hanya sekitar 8 menit, jauh di bawah ambang batas kriteria visibilitas hilal," ujarnya. Karena itu, semua pihak perlu berlapang dada untuk berdiskusi mencari acuan yang paling sahih di antara data dan metode yang kini ada di masyarakat.

Bila semua ahli hisab telah mengacu pada almanak astronomi, lanjut dia, satu langkah lagi adalah menyepakati kriteria visibilitas hilal.Kriteria IICP yang memberikan syarat batas visibilitas hilal: beda waktu terbenam matahari dan bulan lebih dari 40 menit di daerah tropik, ia mengusulkan, sangat baik diterapkan di Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk mengatasi kerumitan.

Cat. IMKANUR RUKYAT MABIMS: Satu di antara empat kriteria yang menjadi dasar penyusunan Kalender Hijriyah di Indonesia

sumber: http://republika.co.id/

Baca Selengkapnya..