Sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Khatthab, menurut riwayat yang dikutip Al-Kandahlawi dalam buku Hayat al-Shahabah, pernah bermaksud untuk memperluas bangunan Masjid Nabawi di Madinah. Tapi, rencana perluasan ini agak terhambat, karena di dekat masjid itu terdapat bangunan (rumah) milik Abbas, paman Nabi SAW.
Untuk menyukseskan proyek perluasan ini, Umar menawarkan kepada Abbas tiga usulan. Pertama, menjual rumah itu kepada Umar (pemerintah). Kedua, menghibahkan secara cuma-cuma. Ketiga, Abbas sendiri harus memperluas Masjid itu. Namun ternyata semua usulan itu tak satu pun diterima Abbas.
Umar, tentu saja, sangat kecewa. Ia bermaksud memperkarakan Abbas dalam kasus ini. Ia meminta Abbas menunjuk seorang penengah yang dapat bertindak sebagai hakim dalam perkara ini. Abbas menunjuk Ubay bin Ka'ab. Lalu mereka berdua datang menemui Umar dan terjadilah dialog seperti berikut.
''Tuan Khalifah, menurut hemat kami, tidak dapat mengusir Abbas dengan menggusur rumahnya untuk keperluan proyek ini,'' kata Ubay. ''Apa dasarnya?'' tanya Umar. ''Sunnah Rasul,'' jawab Ubay. ''Aku dengar Baginda Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Nabi Daud bin Sulaiman ketika membangun Bait al-Maqdis mendapati kesulitan, yaitu setiap kali ia membangun pagar Bait at-Maqdis, maka pagar itu selalu roboh dan rontok. Lalu Allah SWT memberi tahu Daud agar ia tidak membangun pagar di atas lahan orang lain sampai yang bersangkutan merelakannya.''
Mendengar jawaban Ubay, Umar bersikap pasrah dan menyerah. Artinya, rumah itu tetap milik Abbas dan tidak boleh digusur meski untuk pembangunan Masjid Nabawi. Konon, beberapa waktu kemudian, Abbas sendiri memperluas masjid itu.
Kisah ini sungguh amat menarik untuk direnungkan, khususnya bagi para pecinta dan pencari keadilan. Bayangkan, apa sulitnya seorang kepala negara seperti Umar menggusur rumah penduduk untuk keperluan pembangunan masjid? Rasanya tidak ada alasan yang lebih kuat dari proyek pembangunan masjid. Tapi, Umar toh tak sanggup melakukannya. Ia harus tunduk kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul. Sikap dan tindakan Umar ini, dengan sendirinya, semakin mengukuhkan dirinya sebagai Al-Faruq, yakni orang yang sangat adil dan pantang mencampur aduk antara yang hak dan yang batil.
Apa yang diperbuat Umar di atas, agaknya memang berlainan sekali dengan kenyataan dan realitas kehidupan yang sering kita lihat di sekeliling kita. Betapa banyak lahan dan rumah penduduk harus diikhlaskan demi pembangunan. Juga tak sedikit yang harus digusur sekadar untuk pembangunan gedung bioskop, pusat hiburan, hotel berbintang, dan proyek-proyek besar lainnya. Untuk dapat hidup lebih baik, agaknya kita masih perlu belajar banyak lagi dari sirah orang-orang besar yang arif dan bijaksana, seperti Umar. Umar memang telah tiada, tetapi semangat keadilannya dan pemihakannya kepada kaum duafa patut dikenang sepanjang masa.
sumber: http://republika.co.id/
Untuk menyukseskan proyek perluasan ini, Umar menawarkan kepada Abbas tiga usulan. Pertama, menjual rumah itu kepada Umar (pemerintah). Kedua, menghibahkan secara cuma-cuma. Ketiga, Abbas sendiri harus memperluas Masjid itu. Namun ternyata semua usulan itu tak satu pun diterima Abbas.
Umar, tentu saja, sangat kecewa. Ia bermaksud memperkarakan Abbas dalam kasus ini. Ia meminta Abbas menunjuk seorang penengah yang dapat bertindak sebagai hakim dalam perkara ini. Abbas menunjuk Ubay bin Ka'ab. Lalu mereka berdua datang menemui Umar dan terjadilah dialog seperti berikut.
''Tuan Khalifah, menurut hemat kami, tidak dapat mengusir Abbas dengan menggusur rumahnya untuk keperluan proyek ini,'' kata Ubay. ''Apa dasarnya?'' tanya Umar. ''Sunnah Rasul,'' jawab Ubay. ''Aku dengar Baginda Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Nabi Daud bin Sulaiman ketika membangun Bait al-Maqdis mendapati kesulitan, yaitu setiap kali ia membangun pagar Bait at-Maqdis, maka pagar itu selalu roboh dan rontok. Lalu Allah SWT memberi tahu Daud agar ia tidak membangun pagar di atas lahan orang lain sampai yang bersangkutan merelakannya.''
Mendengar jawaban Ubay, Umar bersikap pasrah dan menyerah. Artinya, rumah itu tetap milik Abbas dan tidak boleh digusur meski untuk pembangunan Masjid Nabawi. Konon, beberapa waktu kemudian, Abbas sendiri memperluas masjid itu.
Kisah ini sungguh amat menarik untuk direnungkan, khususnya bagi para pecinta dan pencari keadilan. Bayangkan, apa sulitnya seorang kepala negara seperti Umar menggusur rumah penduduk untuk keperluan pembangunan masjid? Rasanya tidak ada alasan yang lebih kuat dari proyek pembangunan masjid. Tapi, Umar toh tak sanggup melakukannya. Ia harus tunduk kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul. Sikap dan tindakan Umar ini, dengan sendirinya, semakin mengukuhkan dirinya sebagai Al-Faruq, yakni orang yang sangat adil dan pantang mencampur aduk antara yang hak dan yang batil.
Apa yang diperbuat Umar di atas, agaknya memang berlainan sekali dengan kenyataan dan realitas kehidupan yang sering kita lihat di sekeliling kita. Betapa banyak lahan dan rumah penduduk harus diikhlaskan demi pembangunan. Juga tak sedikit yang harus digusur sekadar untuk pembangunan gedung bioskop, pusat hiburan, hotel berbintang, dan proyek-proyek besar lainnya. Untuk dapat hidup lebih baik, agaknya kita masih perlu belajar banyak lagi dari sirah orang-orang besar yang arif dan bijaksana, seperti Umar. Umar memang telah tiada, tetapi semangat keadilannya dan pemihakannya kepada kaum duafa patut dikenang sepanjang masa.
sumber: http://republika.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar