
Demikianlah peristiwa ini terjadi, dan setiap kali si mualaf ingin meninggalkan masjid, selalu diminta untuk meneruskan ibadahnya. Baru setelah salat Isya, ia diperkenankan pulang. Namun, pada malam berikutnya, si muslim dikejutkan oleh si mualaf, ketika yang pertama ini mengajaknya ke masjid. ''Aku telah keluar dari agama ini sepulang dari masjid semalam,'' kata si mualaf. ''Carilah orang lain yang tidak mempunyai pekerjaan yang bisa menghabiskan waktunya cuma di masjid. Aku orang miskin yang punya tanggungan. Aku harus mencari nafkah untuk keluargaku,'' lanjutnya. Kisah ini memberi pelajaran kepada kita bahwa seorang ahli ibadah telah berhasil mengajak seseorang masuk Islam, tapi kemudian dia sendiri yang menjadikannya murtad karena sikap ekstrimnya.
Rasulullah sendiri tidak membenarkan sikap ekstrim dalam beribadah, sehingga seseorang melupakan kewajiban terhadap keluarga dan masyarakatnya. Nabi pernah marah ketika ada di antara para sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari dan beribadah sepanjang malam. ''Engkau mempunyai kewajiban terhadap badanmu, keluargamu, dan istrimu. Karena itu berikanlah kepada yang berhak apa yang menjadi haknya,'' sabda Nabi.
H. Junus Jahja, seorang mualaf keturunan Cina dalam bukunya Islam di Mata WNI mengungkapkan, di antara penyebab keengganan keturunan Cina masuk Islam, karena adanya kekeliruan penilaian tentang Islam. Islam dianggap sebagai agama yang terlalu banyak larangan dan sulit dilaksanakan bagi orang yang sibuk bekerja.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama dari Mesir mengatakan, berdasarkan Alquran dan Sunah ternyata banyak ditemukan dalil-dalil yang meringankan dan memudahkan pengamalan syariat, jauh dari pengertian yang sempit dan menyulitkan. Firman Allah: Dan Allah samasekali tidak menghendaki kesempitan dalam agama (hingga menyusahkan) kalian. (Al-Hajj 78).
sumber: http://republika.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar