Istimewanya Wanita

24 Juni 2008

Penulis : Rinna Fridiana

Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia, namun harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan.

Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya.

Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh.

Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya.

Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya.

Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada di sisi suaminya tanpa ragu. Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan. Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan bila mana ia perlukan.

Kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, susuk yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya. Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya, tempat di mana cinta itu ada.

***

Bukan yang pertama tulisan seperti itu saya baca. Tiga tahun lalu, saya menerima kado ulang tahun dari suami yang disertai tulisan yang hampir mirip seperti itu, saya juga pernah membaca di beberapa majalah yang memuat kutipan kata-kata yang sama, dan kemarin seorang teman mengirimkan tulisan itu ke alamat e-mail saya. Sekilas melihatnya saja, saya sudah merasa tahu seperti apa isinya. Namun karena tulisan itu selalu membuat hati saya bergetar, maka saya kembali membacanya dengan hati-hati dan berusaha menikmati kembali getaran yang ada. Subhanallah, masih bisa terasa nikmatnya rasa syukur yang dalam.

Tanpa bermaksud merendahkan kaum lelaki sebagai imam keluarga, alhamdulillah, saya diciptakan sebagai wanita. Lihat saja dalam tulisan itu, bagaimana istimewanya Allah SWT menciptakan wanita. Bagaimana banyaknya kesempatan-kesempatan yang diberikan untuk berbuat kebaikan, bagi anak-anaknya, bagi suaminya. Semoga setiap wanita bisa memanfaatkan setiap kesempatan baik itu. Namun pertanyaan yang terpenting adalah, apakah sebagai wanita kita sudah memahami peran kita? Apakah kita sudah memanfaatkan kekuatan yang kita miliki yang sudah demikian istimewanya diberikan oleh Sang Pencipta bagi kaum wanita? Sudahkah?

Apakah benar kita telah menyediakan bahu kita untuk bersandar bagi bayi-bayi kita? Putra-putri tercinta yang telah kita lahirkan ke dunia dengan perjuangan di ujung maut? Atau kita terlalu sibuk mengurus diri, terlalu sibuk bercanda dengan tetangga dan kolega, sehingga kita menyerahkan urusan anak-anak sepenuhnya pada si bibi, pada baby sitter, serta enggan untuk berepot ria menggendong dan menyalurkan cinta kasih melalui pelukan bagi seseorang yang katanya buah hati kita. Ya Allah, semoga hati kita senantiasa dilembutkan untuk selalu mau menyediakan waktu buat sekedar menyediakan bahu bagi bersandarnya kepala anak kita dikala mereka membutuhkan.

Apakah benar kita sudah cukup punya kekuatan untuk membangun kesabaran sebagai ibu atas penolakan anak-anak kita? Jangan sampai kita malah memberinya sumpah serapah manakala mereka enggan kita mintai tolong, jangan sampai kita malah memakinya dengan umpatan atas penolakan mereka pada nasehat kita selaku orangtuanya. Jangan lupa, nasehat terbaik adalah dengan contoh perilaku dari kita sebagai orang yang bertanggung jawab atas perkembangan sikapnya. Jangan sampai kita menggerutu dengan mengeluarkan kata-kata penyesalan karena telah melahirkan anak-anak kita, ingatlah bahwa mereka tidak minta dilahirkan dari rahim kita. Mereka ada karena Allahmenitipkan mereka pada kita. Mereka ada karena Allah mempercayakan mereka pada kita untuk kita didik dan besarkan menurut ajaranNya. Bagaimana mungkin kita berani mencelakakan anak-anak kita yang merupakan titipanNya apalagi mampu untuk membunuhnya dengan alasan apapun, na'udzubillah.

Apakah benar kita sudah cukup punya kekuatan untuk tetap tegar mendampingi suami manakala kesulitan dan keraguan menghampiri kita? Ataukah kita mengomel siang malam saat gaji suami tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari? atau kita marah tak terkendali manakala kita menemukan kejanggalan atas perilakunya. Kita mencurigai setiap perubahan sikapnya dan memvonisnya berselingkuh manakala kecemburuan tak lagi terkendali? Dan terlupa bahwa mungkin segala perilakunya akibat dari sikap kita sebagai istrinya, terlupa bahwa mungkin perubahan sikapnya jutru sebagai dampak dari cara kita melayaninya, cara kita memandangnya. Ah, mungkin lebih baik kita koreksi diri dulu, intropeksi diri untuk kemudian kita bicarakan dari hati ke hati dengan suami, mencari jalan keluar terbaik bersama-sama untuk menemukan solusi dari setiap permasalahan. Pasti akan terasa indahnya suatu hubungan manakala kita dengan tawadhu membangun komunikasi rutin.

Dan setiap tetesan air mata kita, semoga terlahir dari hati yang lembut yang hanya berharap ridha Allah semata. Bukan tetesan air mata karena rasa sakit hati atas perlakuan anak-anak kita, bukan tangisan karena sakit hati atas sikap suami kita, bukan tangisan penyesalan karena kita merasa kehilangan benda, kehilangan nama baik, kehilangan kesempatan mendapatkan rejeki atau kehilangan peluang hebat menjadi sesuatu yang lebih berarti. Semoga tetesan air mata kita, tangisan hati kita, lebih kepada penyesalan karena kita tidak cukup baik untuk menjadi umatNya, sehingga kita merasa harus memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Semoga banjirnya hati kita disebabkan karena kita merasa tak punya cukup cinta di dalam hati yang bisa kita persembahkan buat Allah dan orang-orang di sekitar kita.

sumber: http://kotasantri.com/

0 komentar: